Al-Qur'an dan Realita

Ayat-ayat Al-Quran Yang Diturunkan Allah Merupakan Sebuah Kumpulan Wahyu Yang Utuh Untuk Memenuhi ataupun Menolak Realita


Sungguhpun Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun masa kenabian, (tentang masa penurunan wahyu ini, bisa dilihat secara mendetail dalam Al-Zarqânî, 1988: 53 et seqq). Tidak dengan sendirinya kenyataan ini memperkuat tesa sementara pemikir seperti Nashr Hâmid Abû Zayd yang menyatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan sesuai dan lebih dari itu berdasarkan realita. Abû Zayd menulis:

"Sesungguhnya ilmu Asbâb Al-Nuzûl membekali kita dengan fakta-fakta yang memperlihatkan kepada kita bahwa Teks ini (diturunkan) untuk memenuhi atau menolak tuntutan realita, dan menegaskan adanya relasi ‘dialog' dan ‘dialektika' antara Teks itu dan realita. Sesungguhnya data-data empiris faktual menegaskan bahwa Teks tersebut diturunkan secara berangsur-angsur selama 20 tahun lebih, sebagaimana menegaskan bahwa setiap ayat, atau sekelompok ayat mempunyai suatu latar belakang tersendiri yang membuatnya diturunkan, kemudian bahwasanya ayat-ayat yang turun dengan sendirinya tanpa mempunyai sebab dan latar belakang adalah sangat sedikit sekali". (Abû Zayd, 1994: 97)

Ternyata, tesa ini tidak sesuai dengan fenomena yang ada di hadapan kita. Di antara jumlah total ayat Al-Qur'an yang mencapai 6236 ayat, hanya ada 472 ayat yang mempunyai sebab dan latarbelakang [7]. Kalaupun boleh dielaborasikan kepada riwayat-riwayat yang lemah, jumlah maksimal yang bisa diperoleh hanya 888 ayat saja. (Muhammad, 1996: 93)

         
Karena itu, tesa ini tidak mencukupi untuk dijadikan premis minor daripada teori "dialog Teks Al-Qur'an dengan realita". Hingga kita sampai kepada efek aksiomatis yang seharusnya diambil: pertama, bahwasanya Al-Qur'an dari awal kejadiannya merupakan sebuah kumpulan yang utuh, meskipun tidak diturunkan langsung sekaligus, (inilah yang kita sebut sebagai wujud metafisik Al-Qur'an sesuai dengan pengertian yang disampaikan oleh Kant dan - sayang sekali - bukan menjadi pembahasan kita dalam kesempatan yang sempit ini) dan yang kedua bahwasanya argumentasi alternatif - yang kuat dan tidak mengandung akibat destruktif secara teologis[8] - haruslah dikedepankan, untuk membuktikan relevansi Teks Al-Qur'an dengan perubahan konteks personal, ruang dan waktu.

Maka tidak ada pilihan lain untuk mendapatkan argumentasi alternatif tersebut selain menoleh "ke dalam" Al-Qur'an itu sendiri untuk yang pertama dan selanjutnya (yang kedua) kepada faktor ekternal berupa mesin pembacanya (man behind the gun-nya) dengan cara merumuskan epistéme dan metode pendekatan yang lebih mencerahkan[9].

Logika Presentasi Al-Qur'an


Bagaimana Al-Qur'an menampilkan dirinya? Sebagaiamana dikatakan di atas, Al-Qur'an menggunakan sebuah sistem/ paradigma semiotik dan filsafatis yang integral. Inilah yang dibahas secara khusus dan dengan amat berhasil oleh Sayyid Quthb dalam Al-Tashwîr Al-Fannî. Beliau menyatakan: "Al-Qur'an mempresentasikan dirinya dengan sebuah cara integral yang digunakannya untuk semua keperluan/tujuan, termasuk dalam pembuktian intelektual dan perdebatan. Itulah (yang kita sebut sebagai) penggambaran sastra dengan menggunakan imajinasi dan personifikasi". (Quthb, 1993a: 239)

Comments

Popular Posts

Responsive Seo Friendly Fast Loading Blogger Template

SEO Friendly Dan Fast Loading Blogger Template

Nabi Muhammad Adalah Cahaya

Falsafah AlQuran