Diskursus Lisan dan Teks Tulisan AlQuran

Fenomena historis yang kita dapatkan menyatakan bahwa Al-Qur'an telah melewati dua fase kodifikasi, yaitu fase diskursus lisan dan kemudian fase teks tulisan. Ilmu linguistik modern dan antropologi bahasa banyak membantu kita dalam menjelaskan perbedaan yang menjadi akibat signifikan dari sifat-sifat kedua fase tersebut.

Dengan bantuan kedua ilmu baru itu sebagai perangkat analisis, akan terlihat bahwa praktek operasional rasioning (pola berpemikiran) dan memorizing (pola penyimpanan data) dalam fase yang pertama berbeda sama sekali dengan yang berlangsung pada masyarakat yang sudah mengenal tulisan dan selalu mengaitkan (menyesuaikan) semua aktivitasnya dengan sebuah teks tertulis.

Pada fase yang pertama, fenomena historis menunjukkan bahwa Kitab Suci (Al-Qur'an dalam pengertian awal yang dimaksud oleh berbagai ayat Al-Qur'an [2]) adalah sebuah pedoman umum yang masih bersifat alami, terbuka dan inklusif (secara egaliter menjadi milik semua komunitas sahabat yang hidup bersama Nabi saw.).


Tetapi sejak didekritkannya "kata akhir" kodifikasi resmi Al-Qur'an yang mengawali fase kedua, pola beragama, berpemikiran dan berperadaban berangsur-angsur berubah. Ada dua fenomena sejarah yang menarik untuk dicermati: yang pertama, adalah banyaknya para sahabat besar "pembawa" Al-Qur'an yang meninggal dunia ataupun mati syahid di medan penegakan agama Islam, dan yang kedua dimusnahkannya naskah-naskah tertulis lain dan ditutupnya kemungkinan perubahan selanjutnya, demi mencegah terjadinya perpecahan dan perbedaan pendapat tentang legitimasi dan validitas ayat-ayat dan surat-surat yang tercantum dalam "Mushaf". Pada saat itulah Al-Qur'an menjadi sebuah "Teks Tertulis yang Tertutup".

Faktor-faktor sosio-politis yang terjadi kemudian membuat perbedaan tersebut terasa makin membesar dan bertambah signifikan, apalagi kalau mengingat jauhnya jarak waktu yang memisahkan keduanya, yaitu masa kerasulan dan masa pemerintahan Khalifah III, ‘Utsmân ibn ‘Affân.

Proses sejarah selanjutnya menunjukkan kristalisasi akibat langsung atau tidak langsung daripada kodifikasi tertulis di atas yang sampai saat ini harus kita tanggung, mau ataupun tidak mau. Al-Qur'an kemudian dipolitisir oleh kekuasaan (dengan representasinya: "kekhalifahan" Bani Umayyah dan ‘Abbâsîyah), dengan memonopoli penafsiran yang "benar" dan mengabsolutkannya (sakralisasi) [3]. Dalam dataran akar rumput, terjadi juga pergeseran yang paralel. Kalau pada fase awal, Al-Qur'an dibaca, dihafalkan, dipahami dan diinterpretasi secara bebas dan terbuka oleh seluruh anggota komunitas sahabat, maka pada fase kedua, semua anggota komunitas mendapatkan kesempatan/ akses untuk membacanya kapanpun dan dimanapun, tetapi dalam posisi intelektual yang sudah berubah: mayoritas yang teramat dominan di antara mereka hanya melakukannya sebatas sebagai sebuah manifestasi ibadah ritual. Pada fase kedua ini, sadar ataupun tidak sadar, dan dalam proses yang berlangsung berangsur-angsur, hak (lebih tepatnya: kemampuan dan legitimasi) untuk memahami dan menginterpretasi dengan "benar" menjadi terbatas pada sekelompok orang terdidik (ash-hâb al-tsaqâfah al-‘âlimah al-kâtibah) yang terdiri dari para pegawai negara dan agamawan yang mendapat sokongan dari negara ataupun, paling tidak, diberi hak hidup dan berpendapat oleh kekerasan kekuasaan, begitu juga orthodoksi keagamaan yang terdiri dari para fuqaha' dan ahli ilmu Kalam yang mendapat legitimasi dari negara. Tentu saja legitimasi ini tidak dengan gratis diberikan begitu saja, karena alat bargaining yang dilakukan adalah kerjasama mutualistik untuk melenyapkan aspirasi sempalan yang membahayakan kelangsungan kekuasaan dan  pendapat yang berbeda dengan ideologi keagamaan yang hegemonik.

Sayang sekali, kenyataan ini (berikut dengan akibat langsung dan tidak langsungnya) tidak mendapatkan porsi yang mencukupi dalam kesadaran berpemikiran kita, dan sayang sekali lobang-lobang historis yang ada di sana-sini dianggap telah tertambalkan oleh beberapa dogma ideologis-teologis yang diberikan sebagai "kata akhir" oleh orthodoksi keagamaan dan  cenderung dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan [4].

Tidak heran kalau pada akhirnya Arkoûn menyuarakan kesedihannya bahwa ummat Islam lebih suka berlindung di balik penyelesaian akhir yang tidak hakiki (quasi problem solving) dalam menyikapi persoalan-persoalan teologisnya karena tidak mempunyai keberanian untuk merambah dataran hakikat yang terlihat menakutkan dan bisa membakar siapapun yang berani menjamahnya. (Arkoûn, 1992: passim)

Sampai di sini kita melihat urgensi dilakukannya penelusuran arkeologis dalam upaya interpretasi kita terhadap Teks Transendental ini, dengan mengedepankan upaya perujukan kembali kepada semangat intelektual yang pernah dieliminir dahulu dan masih terasa dampaknya sampai sekarang: keterbukaan, pluralitas, inklusifitas, populitas dan toleransi. Karena itulah yang sesuai dengan makna transendentalitas Al-Qur'an yang merupakan Kalam Allah dan bukan merupakan makhluq (baca: "Umm Al-Kitâb" sesuai dengan pengertian yang terkandung dalam firman Allah: "Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu ada dalam ‘Umm Al-Kitâb' di sisi Kami dan sungguh [Al-Qur'an itu] sangat tinggi kedudukannya [transendental] dan amat banyak mengandung hikmah) [5]. (QS. Al-Zukhruf: 4)

Dengan semangat inklusiftas ini kita memulai penelusuran kita selanjutnya untuk sampai kepada jawaban dari pertanyaan mendasar: bagaimana Al-Qur'an berinteraksi dengan perubahan realita?[6]

Comments

Popular Posts

Responsive Seo Friendly Fast Loading Blogger Template

SEO Friendly Dan Fast Loading Blogger Template

Nabi Muhammad Adalah Cahaya

Falsafah AlQuran