Falsafah AlQuran

Essai Tentang Falsafah Al-Qur'an (Konteks I'jâz dalam Menghadapi Tantangan Modernitas)

Al-Qur'an diturunkan sebagai petunjuk bagi ummat Manusia. Allah berfirman: "Ini adalah sebuah Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al-A‘râf: 2)

Fungsi Al-Qur'an sebagai petunjuk ini ditegaskan oleh Al-Ustâdz Al-Imâm Muhammad ‘Abduh, sehingga beliau menyatakan bahwa tujuan yang pertama dan utama dari ilmu Tafsir adalah: merealisasikan keberadaan Al-Qur'an itu sendiri sebagai petunjuk dan rahmat Allah, dengan menjelaskan hikmah kodifikasi kepercayaan, etika dan hukum menurut cara yang paling bisa diterima oleh pikiran dan menenangkan perasaan. Dengan demikian, tujuan yang sebenarnya dari ilmu ini adalah untuk mencari petunjuk kebenaran di dalam Al-Qur'an. (Al-Khûlî, 1995: 229)


Falsafah AlQuran
Penjelasan yang lebih mendetail tentang dimensi-dimensi fungsional Al-Qur'an (baca: maqâshid wadl‘i Al-Syarî‘ah) sebagai petunjuk ini bisa didapatkan—antara lain—dalam magnum opus Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât. (Al-Syâthibî: 64 et seqq)

Bertolak dari "tesa teologis" tentang fungsi Al-Qur'an di atas, tulisan ini dirancang untuk membangun dan merumuskan beberapa pemikiran awal ke arah sebuah "entitas" yang kiranya paling tepat kalau dinamakan sebagai "Falsafah Al-Qur'an" (dengan huruf "F" kapital), sebuah Falsafah yang memungkinkan Al-Qur'an menjalankan fungsinya sebagai petunjuk dan rahmat bagi ummat manusia yang "hidup" dalam ruang dan waktu yang berubah, bergeser dan berkembang. Lebih dari itu, Falsafah Al-Qur'an memungkinkan "Teks Kitab Suci" itu menjadi hidup (posisi aktif) dan dalam salah satu aspeknya mampu bertahan menghadapi pemikiran-pemikiran baru (posisi pasif dinamis).

Refleksi Tentang Studi Al-Qur'an



Menghidupkan Al-Qur'an

Inilah kertas kerja sederhana tentang Falsafah Al-Qur'an  dengan empat bagiannya: ontologis, epistemologis, aksiologis dan konteks realitasnya. Kertas kerja ini disampaikan sebagai materi penunjang kajian tentang kemukjizatan Al-Qur'an, yakni kemukjizatannya dalam menghadapi tantangan modernitas. Haruslah diakui bahwa di dalam banyak bagiannya terdapat seabreg kekurangan yang perlu ditambal dan kesalahan yang perlu diluruskan. Apalagi essai ini lebih banyak bergerak di dataran teoritis yang masih perlu dijabarkan dan diaplikasikan lebih lanjut oleh mereka-mereka yang lebih berkompeten dari seorang penulis yang tunduk pada prinsip: "Lâ yukallifu'lLâh nafsan illâ wus‘ahâ,… wa inna sa‘yaka la syatta …".

Semoga kesalahan-kesalahan besar penulis bisa membantu orang lain untuk hanya terjerumus dalam kesalahan-kesalahan yang kecil saja. Nûn, wa'l Qalam wa mâ yasthurûn, wa'lLâh Al-Muwaffiq.

Catatan penulis:


  1. Penulis menggunakan istilah istilah Teks Transendental (Al-Nassh Al-Muta‘âlî) untuk mengisyaratkan kepada sidang pembaca dan diskusan yang terhormat akan kepercayaan ‘aqîdah penulis bahwa Al-Qur'an adalan sebuah Kitab Suci yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw dan bahwasanya Al-Qur'an adalah Kalam Allah bukanlah makhluq. Penulis berharap penjelasan ini sudah cukup menghindarkan dari kesalahpahaman yang menjerumuskan, lebih dari itu menimbulkan asumsi yang mencelakakan anda dan penulis sendiri.
  2. Perhatikan, antara lain, firman Allah: Haa Miim. Demi Kitab (Al-Qur'an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). (QS. Al-Zukhruf: 1-3). Selain menunjukkan transendentalitas Al-Qur'an telah disinggung dalam bagian sebelumnya, ayat ini (dan ayat-ayat semacamnya)  juga menunjukkan bahwa praktek membaca (atau bahasa Arabnya: qara'a qur'ânan) pada saat itu bukan dilakukan pada kumpulan teks tertulis yang belakangan dikenal sebagai "Mushaf". Bagaimana tidak, bukankah pada saat itu Al-Qur'an belum rampung diturunkan, dan bukankah tindakan kodifikasi tertulis yang "resmi" baru dilakukan sekitar 20 tahun kemudian?
  3. Salah satu manifestasi fenomena ini adalah diberikannya ‘legitimasi" kepada kekuasaan untuk menentukan yang benar dan yang salah dalam menyikapi perbedaan pendapat yang ada di antara ummat. Dalam bahasa ushûliyûn: "Hukm al-hâkim yarfa' al-khilâf". Akibatnya "kebenaran" dan "kesalahan" bisa ditentukan sesuai dengan arah angin yang bertiup dari kursi kekuasaan. Contoh kasusnya bisa dilihat dari nasib kaum Mu‘tazilah yang mengalami rotasi dari posisi "kebenaran resmi" ke "kesalahan" teologis-ideologis-politis pada masa Al-Ma'mûn dan selanjutnya pada masa Al-Mutawakkil Al-‘Abbâsî. (Abû Zuhrah: 126)
  4. Di antara dogma teologis tersebut adalah sabda yang dinisbahkan kepada Nabi besar Muhammad saw.: "Ummatku tidak akan berkumpul membenarkan kesesatan, dan ‘Tangan' Allah adalah menaungi jamaah kolektif ummat".
  5. Dalam magnum opus-nya, Al-Burhân, Al-Imâm Al-Zarkasyî menjelaskan secara panjang lebar bahwa Al-Qur'an dalam pengertian yang metafisik ini memiliki sifat keterbukaan yang luas. Sifat metafisik ini kemudian  menjiwai "bentuk fisik" Al-Qur'an (=Mushaf) yang bisa dipahami secara plural. (Al-Zarkasyî, Al-Burhan fî ‘Ulûm Al-Qur'ân, Dâr Al-Ma‘rifah, Beirut, cet. III, 1977, hal 6-17, dikutip dari Abû Zayd, 1994: 43-44). Dalam kapasitasnya sebagai seorang yang mempunyai tradisi gnostik a lâ Persia, Seyyed Hossein Nasr menulis mengenai wujud metafisik Al-Qur'an ini: "… that's why in Islam one distinguishes between a Qur'an that is ‘written' and ‘composed' (tadwînî) and a Qur'an which is ‘ontological' and pertains to cosmic existence (takwînî). This is not to say that there are two Qur'ans but that, metaphysically, the Qur'an has an aspect of knowledge connected with its text as a book and an aspect of being connected with its inner nature as the archetypical blue-print of the Universe". (Nasr, 1989: 53)
  6. Dalam hal ini ada dua pandangan yang saling berseberangan: (1) Sesuai dengan premis ‘dialog' Al-Qur'an dengan realita—yang dicerminkan oleh sebab dan latarbelakang penurunan ayat-ayatnya—, maka haruslah dikatakan revisi dan pengedaluarsaan bagian-bagian Al-Qur'an yang tidak lagi sesuai, dan (2) Apabila ada realita yang "berlawanan" dengan Al-Qur'an, maka secara otomatis realitas tersebutlah yang harus disalahkan dan selanjutnya diluruskan sesuai dengan otoritas Al-Qur'an. Dalam sejarah pemikiran muslim, kedua aliran tersebut kemudian menemukan jalan tengahnya, dimulai oleh Al-Ustâdz Al-Imâm yang menyatakan bahwa Al-Qur'an tidak mungkin bertentangan dengan realitas keilmuan yang benar, selanjutnya kalaupun ditemukan "ketidakbenaran" maka fokus verifikasi seharusnya diarahkan kepada pemahaman manusia itu sendiri terhadap Al-Qur'an. (‘Abduh, 1998: 130). Karena itu, Al-Imâm Al-Akbar Mahmûd Syaltût menyatakan bahwa "pemahaman manusia terhadap Islam bukanlah agama yang wajib diikuti". (Syaltût, 1997: 8)
  7. Fakta ini bisa dilihat di buku Asbâb Al-Nuzûl karya Imam Al-Wâhidî dal Al-Suyûthî. Pemeriksaan yang teliti akan membuat kita menyimpulkan bahwa sebagian yang amat besar ayat-ayat Al-Qur'an tidak mempunyai sebab dan latarbelakang penurunan, dan bahwasanya sebagian besar ayat yang dikatakan mempunyai sebab dan latarbelakang penurunan, ternyata sanad periwayatannya lemah tidak bisa dijadikan dalil, kalaupun toh sanadnya valid, tetapi indikasinya terhadap (sebab atau latarbelakang) penurunan ayat tidak tegas.
  8. Di antara akibat destruktif secara teologis yang timbul dari penerimaan tesa ini adalah kemungkinan pembenaran terhadap tuduhan yang menyatakan bahwa Teks ini adalah produk sejarah yang dikreasi oleh seorang "nabi" bernama Muhammad, dan selanjutnya bukan merupakan wahyu yang diturunkan Allah dengan perantaraan malaikat Jibril as.
  9. Perkembangan ilmu-ilmu humaniora modern telah membedakan antara kedua istilah ini. Dicetuskan oleh Foucault, seorang filsuf Perancis paling legendaris di abad ini, epistéme berarti "keseluruhan yang kompleks daripada premis-premis internal yang dengan kuat mengontrol sebuah produksi pemikiran dalam sebuah fase tertentu tanpa harus tampak jelas di permukaan". (lihat pengantar Hâsyim Shâlih terhadap edisi bahasa Arab buku Arkoûn, 1995: 7). Sedangkan metode (manhaj) lebih banyak bersifat teknis, prosedural dan operasional. (‘Abdul Qâdir, 1999: 239-243)
  10. Mengenai indikasi-indikasi schizoprenia ini, silahkan merujuk kepada buku Dr. ‘Abdul Mun‘im al- Hifny, Mawsu'ah Al-Thibb Al-Nafsî, Vol. II, Maktabah Madboûli, Kairo, 1992, hal. 1100-1102.


Daftar Pustaka


  1. Al-Khûlî (a), Amîen, Manâhij Tajdîd, dari Kumpulan karangan (Al-A'mâl al-Kâmilah), vol. X, al-Hay'ah al-Mishriyah al-‘Ammah li'l Kitâb, Kairo, 1995
  2. Al-Khûlî (b), Yumnâ Tharîf, Falsafah Al-‘Ilm fî Qarn Al-‘Isyrîn, serial ‘Âlam Al-Ma‘rifah 264, Kuwait, 2000
  3. Al-Syâthibî, Al-Muwâfaqâth fî Ushûl Al-Syarî‘ah, vol. II, Dâr Al-Ma‘rifah, Beirut, t.t
  4. Al-Zarqânî, Muhammad ‘Abdu'l ‘Âzhim, Manâhil Al-‘Irfân fî ‘Ulûm Al-Qur'ân, vol. I, Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmîyah, Beirut, cet. I, 1988
  5. Abû Zayd, Nashr Hâmid, Mafhûm Al-Nassh, Al-Markaz Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, Casablanca, cet. II, 1994
  6. Arkoûn, Muhammad, Ayna Huwa Al-Fikr Al-Islâmî Al-Mu‘âshir, (diterjemahkan dan dikomentari oleh Hâsyim Shâlih), Dâr Al-Sâqî, London, cet. II, 1995
  7. ‘Abduh, Muhammad, Al-Islâm Dîn Al-‘Ilm wa Al-Madanîyah, Al-Hai'ah Al-Mishriyah Al-Âmmah li Al-Kitâb, Kairo, 1998
  8.  ‘Abdu'l Qâdir, Mâhir, Falsafah al-‘Ulûm, Ru'yah 'Arabîyah: Al-Madkhal l-Nazharî, Dâr al-Ma‘rifah al-Jâmi‘îyah, Aleksandria, 1999
  9. Arkoûn, Muhammad, Al-Fikr Al-Islâmî: Naqd wa Ijtihâd, (diterjemahkan dan dikomentari oleh Hâsyim Shâlih), Dâr Al-Sâqî, London, cet. II, 1992
  10. Arkoûn, Muhammad, Al-Fikr Al-Islâmî: Qirâ'ah ‘Ilmîyah, (diterjemahkan dan dikomentari oleh Hâsyim Shâlih), Markaz Al-Inmâ' Al-Qawmî, Beirut, cet. II, 1996
  11. Abû Zuhrah, Muhammad, Târîkh Al-Madzâhib Al-Islâmîyah, Dâr Al-Fikr Al-‘Arabî, Kairo, t.t
  12. Foucault, Michel, L'Archeology du Savoir (Hafriyât Al-Ma‘rifah), (diterjemahkan oleh Sâlim Yafût), Al-Markaz Al-Tsaqâfî Al-‘Arabî, Casablanca, cet. II,  1987
  13. Muhammad, Sâlim Muhammad, Asbâb Al-Nuzûl bayn Al-Fikr Al-Islâmî wa Al-Fikr Al-‘Almânî, t.p, Kairo, cet. I, 1996
  14. Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, AUC Press, Kairo, cet. I, 1989
  15. Quthb, Sayyid, Al-Tashwîr Al-Fannî fî Al-Qur'ân, Dâr Al-Syurûq, Kairo, cet. XIV, 1993
  16. Quthb, Sayyid, Nahwa Mujtama' Islâmî, Dâr Al-Syurûq, Kairo, cet. X, 1993
  17. Syaltût, Mahmûd, Al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarî‘ah, Dâr Al-Syurûq, Kairo, cet. XVII, 1997
  18. Tabbarah, Afif Abdul-Fattah, The Spirit of Islâm, Dâr Al-Ilm lil-Malayin, Beirut, 1993
  19. Makalah ini dipresentasikan di Forum Studi Al-Qur'an Kairo Mesir, pada hari Ahad, 11 Maret 2001.


Ditulis oleh: Muhammad ‘Aunul ‘Abîed Shah

Comments

Popular Posts

Responsive Seo Friendly Fast Loading Blogger Template

SEO Friendly Dan Fast Loading Blogger Template

Nabi Muhammad Adalah Cahaya