Refleksi Studi Al-Qur'an

Hakikat Teks Al-Quran

Teks sebagai teks itu sendiri adalah makhluq yang mati. Terlepas dari perdebatan berdarah yang pernah terjadi, Al-Qur'an sebagai sebuah "teks" juga harus diposisikan sebagai benda mati yang bisa difungsikan sesuai dengan tuntutan "konteks" yang melingkupi pembaca dan transformatornya (orang yang berupaya untuk mengadopsi "petunjuk-petunjuknya"). Karena itu, beragam corak dan aliran interpretasi yang pernah timbul juga disebabkan oleh kedudukan Al-Qur'an sebagai Kitab Suci, atau katakanlah yang disucikan oleh orang-orang yang bersaksi "bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan-Nya".

Tingkat relevansi sebuah teks yang "mati" dengan berbagai konteks personal, ruang dan waktu itu banyak dipengaruhi oleh struktur dan sistematika teks, gaya bahasa, validitas kontentum dan prinsip-prinsip umum (al-mabâdi‘ al-‘âmmah) yang tercakup dalam teks itu. Atau dengan bahasa lain: ketahanan sebuah teks menghadapi seleksi alam berkorelasi erat dengan falsafah teks itu sendiri.


Dari sini, marilah kita mencoba menggali kembali secara arkeologis kisah sebuah teks transendental yang bernama Al-Qur'an ini [1], tanpa terlalu mengikat diri dengan peninggalan-peninggalan lama yang lazim kita kenal (mâ allafnâ ‘alayhi). Peninggalan-peninggalan lama yang mentradisi dalam kehidupan kita, hingga membuat kita - seakan - tidak bisa lagi menerima "hal yang lain". Isyarat-isyarat tentang peninggalan lama yang mentradisi - hingga diidentikkan dengan kebenaran aksiomatik - ini banyak kita dapatkan dalam Al-Qur'an, sebagaimana Allah SWT berkisah tentang para penganut ideologi ortodoks tersebut: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu ajaran ideologis dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka". (QS. Al-Zukhruf: 23)

Berkaitan dengan kajian teks seperti yang sedang kita lakukan ini, Michél Foucault menyatakan: "Kita harus mempertanyakan kembali susunan-susunan tekstual yang sudah siap pakai ini, mengkaji kembali berbagai kesadaran kolektif sosial yang membuat kita menerimanya begitu saja tanpa mengaktifkan pemikiran yang kritis, dan meneliti ulang berbagai relasi yang kita terima sebagai entitas yang sudah ada begitu saja sejak awal mula". (Foucault, 1987: 22)

Dalam hal ini, ada beberapa fenomena (menurut pengertian yang untuk pertama kali di kedepankan oleh Immanuel Kant, [lihat Al-Khûlî(b), 2000: 131]) yang bisa kita jadikan sandaran awal tentang Falsafah Al-Qur'an ini.

Comments

Popular Posts

Responsive Seo Friendly Fast Loading Blogger Template

SEO Friendly Dan Fast Loading Blogger Template

Al-Qur'an dan Realita

Falsafah AlQuran

SEO Friendly Template