Struktur Al-Qur'an

Keunikan Struktur Al-Qur'an


Teks tertulis Al-Qur'an yang ada di hadapan kita sekarang terdiri 6236 ayat, 114 surat dan 30 juz. Mengenai strukturnya, Arkoûn menulis:

...Sesungguhnya termasuk sulit untuk mendeskripsikan secara definitif kontentum ataupun isi daripada Al-Qur'an. Kesulitan ini timbul karena kita terancam akan terjatuh secara langsung ke dalam cara penafsiran lama dan bayangan imajiner (bawahsadar) keagamaan tradisional. Ditambah lagi, kita sendiri mengetahui bahwasanya sistematika penyusunan surat dan ayat dalam ‘Mushaf' (Teks tertulis Al-Qur'an) tidak mengikuti urutan kronologis yang sebenarnya, tidak juga mengikuti norma rasio ataupun logika tertentu. Karena itu, bagi cara berpikir modern kita yang terbiasa dengan metode penulisan karangan yang sudah baku berdasarkan tuntutan logika, maka teks Mushaf tersebut  berikut dengan sistematika penyusunannya akan membuat kita terheran-heran karena ‘kekacauannya'.

Tetapi saya telah menjelaskan, dalam beberapa kajian yang lalu, bahwa di dalam "kekacauan" itu tersembunyi sebuah sistem semantik dan semiotika yang sangat dalam. Karena itu, seharusnyalah kita menyingkap tipologi diskursus yang digunakan dalam Al-Qur'an. Inilah yang saya lakukan dengan mengklasifikasikan dalam lima tipe, yaitu: diskursus kenabian, diskursus hukum, diskursus deskripsi cerita, diskursus kata-kata hikmah dan peribahasa, serta diskursus do'a-do'a dan puji-pujian." (Arkoûn, 1992: 90-91)

Meskipun klasifikasi tipologis di atas dirasa sudah mencukupi, adalah lebih baik kalau kita memodifikasi, merevisi nama/istilahnya dan menambahkan beberapa tipologi yang lain seperti: diskursus teologi dan kenabian, diskursus hukum syari‘at, diskursus cerita dan deskripsi sejarah, diskursus petunjuk-petunjuk etis, diskursus puja-pujian, diskursus  doa'a-doa, dan seterusnya.


Terlepas dari keabsahan klasifikasi tipologis di atas, dalam prakteknya, kesatuan unit-unit di dalam Al-Qur'an membuat kita harus tunduk kepada kekuatan relativitas yang tidak tertahan. Dalam artian, ada keunikan tersendiri dalam relasi antara unit-unit  parsial dalam Al-Qur'an dan aspek integralitasnya, hingga tidak mungkin memastikan item-item yang termasuk dalam satu tipikal cabang klasifikasi, karena setiap ayat selalu dapat dimasukkan ke dalam beberapa tipikal diskursus yang saling berkelindan. Sebagaimana kita tidak bisa memberikan sebuah perlakuan khusus kepada satu tipikal tertentu yang membedakannya dengan tipikal-tipikal yang lain. Inilah semangat Al-Qur'an yang selalu dipraktekkan secara hidup oleh ummatnya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Memang, beberapa fuqaha telah mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum Islam dan membedakannya dengan ayat-ayat yang lain. Tetapi, tidak pernah terdetik sekalipun dalam pikiran mereka bahwa Al-Qur'an adalah sebuah kitab suci yang terbagi-bagi secara terpisah ataupun terpecahbelah berserakan berdasarkan spesialisasi keilmuan dan bidang pembahasan. (Arkoûn, 1996: 218-219)

Terlepas dari integralitas metafisik Al-Qur'an yang dengan sengaja tidak kita bahas lebih jauh sebagai sebuah aspirasi metodologis, integralitas tersebut bisa dirasakan juga dengan meninjaunya dari sudut pandang ilmu Semiotika.

Semua bagian Al-Qur'an memfungsikan dirinya dalam peranan sebagai wahyu. Ini terlihat karena semuanya tunduk kepada struktur grammatika yang sama dalam bentuk figur-figur dan kata-kata gantinya. Yang pertama, terdapat Dzat Ketuhanan yang mengekspresikan dirinya dengan kata ganti pembicara tunggal dan terkadang pula dengan menggunakan kata ganti pembicara kolektif: Ana/Nahnu. Kata ganti ini kemudian mengarahkan pembicaraannya dengan menggunakan kata perintah (qul) kepada figur kedua (Muhammad) untuk disampaikan dan dikomunikasikan kepada kata ganti orang ketiga kolektif: hum (ummat manusia). Kelompok yang terakhir ini bisa dibagi menjadi dua pihak, yang umumnya menggunakan kata ganti orang kedua kolektif (antum) untuk orang-orang yang beriman dan kata ganti orang ketiga kolektif (hum) untuk orang-orang kafir. Inilah ruangan komunikasi penyampaian wahyu (fadlâ' al-tawasshul wa al-tawshîl) sebagaimana yang bisa kita tilik secara grammatikal dalam diskursus Al-Qur'an. Sampai dalam ayat-ayat yang bersifat keduniaan pun, seperti tatacara pewarisan dan zakat, juga tetap dihubungkan dengan Dzat Ketuhanan dalam bentuk kata ganti orang pertama tunggul/kolektif. Kata ganti orang pertama ini merepresentasikan pembicara yang menurunkan risalah dan menerima risalah dalam waktu yang sama. (Arkoûn,1992: 91)

Kesadaran kita tentang keunikan struktur Al-Qur'an sebagaimana dipaparkan di atas akan membantu kita untuk merambah tataran epistemologis interpretasi Al-Qur'an dengan "mata yang terbuka".

Comments

Popular Posts

Responsive Seo Friendly Fast Loading Blogger Template

SEO Friendly Dan Fast Loading Blogger Template

Al-Qur'an dan Realita

Falsafah AlQuran

Kalau Tidak Karena Nabi Muhammad, Allah Tidak Akan Menciptakan Alam Semesta