Epistéme Penafsiran Al-Qur'an
Ada beberapa terminologi prinsipil yang seharusnya diperhatikan dan membayangi alam bawahsadar seorang interpreter Al-Qur'an, antara lain:
- Anakronisme
- Intertekstualitas
- Historisitas
- Interpretasi
Anakronisme (al-mughâlathah al-târîkhîyah atau al-isqâth)
Dalam idiom tradisional, terminologi ini mempunyai kemiripan dengan postulat "tahmîl Al-Qur'an bimâ lâ yatahammaluhû". Anakronisme biasa disebabkan oleh bias-bias ideologis, teologis dan antropologis. Sebagaimana tindakan yang anakronistik bisa terjadi di saat seorang penafsir tidak menggunakan metode ilmiyah yang valid ataupun terjerumus dalam malapraktek penerapan sebuah merode ilmiyah yang benar sekalipun, baik sadar ataupun tidak sadar.
Intertekstualitas (al-tanâsh)
Dalam idiom tradisional, terminologi ini mempunyai kemiripan dengan postulat yang berbunyi: "al-âyât al-Qur'ânîyah tufassir ba‘dluhû ba‘dlâ". Dalam masa-masa yang akan datang, penafsiran intertekstual seharusnya tidak dibatasi kepada teks-teks suci ortodoks saja, seperti buku-buku hadîts dan Asbâb Al-Nuzûl. Tiba saatnya untuk mengelaborasikannya kepada teks-teks profan lain, baik sebagai referensi inti maupun penunjang.
Historisitas, dekontruksi dan arkeologi pemikiran
Ada kesalahpahaman yang mencekam terhadap istilah historisitas (al-târîkhîyah) apabila digunakan sebagai media bantu analisis terhadap sebuah teks kitab suci yang dalam hal ini adalah Al-Qur'an. Meskipun bisa jadi benar untuk kasus sementara pemikir, penggunaan istilah ini dengan serta merta mengundang tuduhan bahwa yang bersangkutan mempunyai asumsi riskan bahwa Al-Qur'an adalah produk sejarah dan dengan sendirinya bukan merupakan wahyu sakral yang diturunkan oleh Allah SWT dengan perantaraan malaikat Jibril. Sejatinya, historisitas berarti menampakkan unsur-unsur faktual dalam sejarah sebuah kitab suci sebagaimana yang benar-benar terjadi, apa adanya. Yakni, sejarah dalam pengertian non-skolastik; sejarah dalam pengertian keadaan, situasi dan kondisi yang ada dan terjadi pada suatu fase kehidupan tertentu ataupun yang berlangsung terhadap "sesuatu" yang tertentu pula dalam beberapa fase sejarah.
Karena itu, penggunaan aspek historisitas sebagai media bantu analisis tidak bisa dilepaskan dari dua terminologi konseptual lain, yaitu dekonstruksi dan arkeologi.
Dekonstruksi (al-tafkîk) tidaklah bisa disamakan dengan destruksi (al-hadm). Istilah ini dirumuskan oleh Jacques Derrida untuk menemukan inti penggerak yang tersembunyi dalam sebuah bangunan pemikiran. (Mengenai yang bersangkutan, bisa dilihat dalam kamus filsuf yang disusun oleh George Tharabaysyi, Dâr Al-Thalî‘ah, Beirut, cet. II, 1997)
Terminologi ini semakin bertambah penting setelah Michél Foucault dengan sangat jenius berhasil menemukan sebuah terminologi konseptual yang lain yaitu "arkeologi pemikiran". Intinya: karena timbunan sejarah yang semakin meninggi, maka sebuah materi pemikiran (baik berupa fakta sejarah, piranti pemikiran yang melahirkan berbagai teori, konfigurasi-konfigurasi ideologis, struktur imajiner, sistem keimanan dan epistéme, dll) baru bisa dicapai setelah melalui penggalian yang dilakukan terhadap lapisan-lapisan "bumi" sejarah.
Interpretasi sinkronik dan diakronik
Ilmu linguistik modern telah merumuskan adanya interpretasi/pola pandang sinkronik (synchronique, al-tazâmunîyah) dan interpretasi/pola pandang diakronik (diachronique, al-tathawwurîyah al-târîkhîyah).
Interpretasi sinkronik berarti "bacaan" yang identik sama dengan yang dilakukan pada pada masa lahirnya sebuah teks. Yakni sebuah pola bacaan yang berusaha untuk kembali ke garis belakang, ke masa munculnya sebuah teks, untuk bisa membaca kosa kata dan struktur kalimatnya sesuai dengan pengertian makna yang menghegemonik pada saat itu, dan bukan dengan pengertian yang dikenal saat ini. Pola interpretasi ini adalah antonim dari interpretasi anakronik yang dengan sadar atau tidak sadar menjerumuskan pembacanya ke dalam kesalahan historis, dengan memaksakan pengertian-pengertian yang berasal dari zaman dan waktu yang lain kepada sebuah teks. Hal ini bisa terjadi karena pengertian kosakata sebuah bahasa akan selalu mengalami perkembangan dan mendapat pengayaan dari satu masa ke masa yang lain.
Sedangkan interpretasi diakronik adalah pengkajian yang dilakukan terhadap perkembangan sebuah kosa kata dan struktur kalimat dalam sebuah bahasa dalam beberapa fase sejarah yang saling berurutan.
Metode Interpretasi Sastra - Tematis
Pada pertengahan abad ke dua puluh, muncullah seorang metodologis interpretasi Al-Qur'an yang secara signifikan sangat berpengaruh terhadap manifestasi dan orientasi penafsiran Al-Qur'an kontemporer. Orang itu adalah Al-Syaikh Amîen Al-Khûlî dan karya monumentalnya "Manâhij Tajdîd". (Mengenai riwayat hidup dan kiprah beliau, bisa di lihat—antara lain—dalam buku Dr. Kâmil Sa‘fân, Amîn al-Khûlî, al-Hay'ah al-Mishriyah al-‘Ammah li'l-Kitâb, Kairo, 1982).
Dengan sangat berhasil, beliau telah merumuskan metode interpretasi sastra-tematik; sebuah inovasi baru yang belum banyak dikembangkan pada masanya. Akses beliau terhadap ide-ide baru yang berkembang di belahan barat bumi ini, memungkinkan beliau menggunakan beberapa spesialisasi humaniora modern dan penemuan keilmuan baru sebagai alat bantu analisis, seperti sosiologi, antropologi, semantik, dan beberapa ilmu-ilmu inovatif yang belakangan dikenal sebagai hermeneutika dan psikolinguistik.
(Keterbatasan ruang yang tersedia memaksa penulis mengalihkan keinginan pembaca untuk merujuk lebih lanjut di buku beliau Manâhij Tajdîd dan buku-buku karya murid-muridnya seperti ‘Aysyah ‘Abd Al-Rahmân sang Putri Pesisir [Al-Tafsîr Al-Bayânî li Al-Qur'ân Al-Karîm, vol. I] dan Muhammad Ahmad Khalf A'lLâh [Al-Fann Al-Qashashi fî'l Qur'ân, tahkik Khalìl ‘Abd Al-Karîm, terbitan Sinâ Publisher, Kairo]).
Sebagai sebuah metode interpretasi yang memfokuskan dan memprioritaskan dengan sangat dominan pengkajiannya kepada bagian-bagian yang paling melekat (organik) dalam ayat-ayat Al-Qur'an, metode ini bisa dijadikan titik tolak dan modal dasar kita dalam proses interpretasi Al-Qur'an kontemporer (atau meminjam bahasa Musthafâ Mahmûd: "muhâwalah li fahm ‘ashrî!").
Ilmu-ilmu Humaniora Modern dan Interpretasi Teks Al-Qur'an
Bisa dikatakan bahwa konsep-konsep humaniora modern mempunyai kecenderungan kuat untuk terbebas dari "nilai". Memang benar bahwa proses kristalisasi sebuah diskursus dan perumusan sebuah konsep yang dilakukan oleh seorang pemikir pastilah terkena bias-bias ideologis pribadi. Tetapi dalam proses selanjutnya, dan ketika bermetaformosa menjadi pisau analisis untuk digunakan kepada obyek yang lain, ataupun digunakan oleh orang lain, bias-bias ideologis tersebut menjadi ternetralisir, paling tidak di permukaannya, meskipun tidak mesti hilang sama sekali dalam hakikatnya.
Dalam kapasitasnya sebagai produk pemikiran manusia yang bersifat relatif dan "tidak pasti", urgenitas dan signifikansi sebuah konsep humaniora akan meningkat kalau bisa diterapkan dalam skala ruang dan kebudayaan yang berbeda dengan tempat/masa kelahirannya. Sebuah konsep humaniora yang tidak terpakai lagi bisa dikatakan mandul, dan selanjutnya: apabila sebuah konsep humaniora hanya bisa digunakan dalam kalangan yang terbatas, maka urgenitas dan signifikansi menjadi terbatas pula.
Persoalan yang sekarang memunculkan dirinya di hadapan kita adalah: bagaimana dengan penerapan konsep-konsep humaniora yang bersifat relatif tersebut kepada sebuah kitab suci yang absolut? Lebih-lebih: bagaimana dengan penerapannya sebagai pisau analisis dalam upaya penafsiran Al-Qur'an?
Alam bawahsadar kaum muslimin pastilah sangat dan amat keberatan kalau kitab sucinya diperlakukan - begitu saja - sebagai sebuah teks biasa. Sakralitas Al-Qur'an, membuat mereka - sejak masa-masa awal Islam - sangat berhati-hati kalau tidak bisa dikatakan menghindarkan diri untuk merambah bidang penafsiran Al-Qur'an. Yang dilakukan tidak lebih dari kebutuhan yang mendesak saja, karena khawatir akan melanggar garis terlarang. (Quthb, 1993a: 26)
Tetapi tuntutan peradaban membuat kaum muslimin sekarang tidak bisa lagi mencukupkan diri dengan apa yang didapatkan dari masa lalu. Pintu keterbukaan tidak bisa lagi ditutup rapat. Kalau tidak, penyakit psikis schizoprenia akan menjadi epidemi sosial yang menjangkiti para penghuni "dâr Al-Islâm".[10]
Di sinilah diperlukan kewaspadaan dan kecerdasan lebih untuk memodifikasi dan merevisi konsep-konsep tersebut sesuai dengan kebutuhan dan tingkat akseptabilitas yang memungkinkan. Karena itu, belakangan banyak cabang-cabang baru ilmu-ilmu humaniora yang khusus mengkaji agama seperti sosiologi agama, ilmu linguistik agama, psikologi agama, dst. Dan putra-putri Islam tentunya lebih dituntut untuk menggeluti dan merumuskan sendiri konsep-konsep analisis yang diperlukan dalam upaya penafsiran Al-Qur'an kontemporer. Hingga dibelakang hari nanti, kita bisa berharap akan ada ilmu-ilmu psikolinguistik Islam, sosio-kritik dan psiko-kritik Islam, political-economy Islam, filsafat ilmu Islam, dan seterusnya, yang bisa dijadikan sandaran tanpa kekhawatiran. Sungguhpun tidak ada salahnya juga untuk mengambil "hikmah-hikmah nan hilang" dari "orang lain", selama sudah melalui proses filterisasi yang ketat dan modifikasi yang memungkinkan.
No comments:
Post a Comment