Menghidupkan Al-Qur’an

Dunia ini memperlihatkan beberapa fenomena peradaban teks, sebuah peradaban yang memposisikan sebuah teks "suci" menjadi poros sentral pergerakan dan perkembangannya, di antaranya adalah peradaban Islam. (Abû Zayd, 1994: 9)

Dalam fenomena seperti ini, bisa dibayangkan adanya proses pemantulan entitas ontologis yang berlangsung bolak-balik antara Al-Qur'an dan ummat Islam. Hakikat ontologis dan ajaran-ajaran Al-Qur'an bisa dilihat dan dinilai dari peradaban dan prilaku ummatnya. Dan sebaliknya, fenomena historis yang berlangsung secara keseluruhan dalam kehidupan ummat bisa dirujukkan ke dalam Al-Qur'an.

Sayangnya, sejak beberapa abad yang lampau dan sampai saat ini, ummat Islam tidak mampu membumikan Al-Qur'an itu dalam kehidupan nyata, seutuhnya. Bagaikan sebuah kaca retak, ummat Islam memantulkan sebuah gambaran yang cacat tentang kebenaran Al-Qur'an.


Penyebab ketidakberesan ini memang bisa ditimpakan secara apologis kepada faktor-faktor eksternal (seperti penjajahan kolonialisme, misalnya), tetapi haruslah tetap disadari bahwa prosentase terbesar dari faktor-faktor penyebab keterbelakangan dan kemunduran tersebut seharusnya dirujukkan kepada unsur internal, di saat ummat Islam dikekang oleh sebuah raison (akal peradaban - yaitu Akal Kognitif untuk tataran teoritis dan Akal Politis untuk tataran empiris) yang tidak dinamis dan tidak sesuai dengan falsafah Al-Qur'an-nya. (Lebih jauh mengenai Akal Peradaban ini bisa dikaji lebih jauh dalam karya monumental Muhammad ‘Âbid Al-Jâbirî, Naqd Al-‘Aql Al-‘Arabî, terbitan Markaz Dirâsât Al-Wihdah Al-‘Arabîyah, Beirut). Tidak heran kalau Al-Ustâdz Al-Imâm Muhammad ‘Abduh pernah mengeluh bahwa pandangan dunia terhadap kebenaran Islam terhalangi oleh keterbelakangan ummatnya. (Tabbarah, 1993:8). Tidak heran pula kalau banyak para pemikir Islam progresif yang menolak upaya-upaya untuk menjustifikasikan "invaliditas" Islam dengan menggunakan fenomena historis ummatnya sebagai fokus pengkajian (kajian fenomenologi).

Maka diperlukan kritik Akal peradaban Islam dengan spirit ilmiyah dalam penyikapan mereka terhadap Al-Qur'an, (Al-Jâbirî, 1995:374). Diperlukan langkah-langkah konkret dengan kembali kepada falsafah Al-Qur'an, mendayagunakan karakteristik Al-Qur'an yang oleh Seyyed Hossein Nasr dinamakan "multiplicity"(potensi internal untuk menggandakan dan mengembangkan). (Nasr, 41 et seqq). Ataupun juga yang disebut oleh Sayyid Quthb sebagai "al-mu‘jizah al-kubrâ li'l Islâm".

Sayyid  Quthb menegaskan: "Salah satu sisi kemukjizatan Islam yang terbesar  adalah kemampuannya untuk mempertahankan prinsip-prinsip umum dan karakteristik-karakteristik  utamanya di satu pihak, dan dipihak lain menimbulkan berbagai corak peradaban kemanusian (Quthb, 1993b: 54)

Karena itu, kata Al-Syahîd Sayyiq Quthb pula, "fenomena-fenomena historis yang ada dan pernah muncul dalam masyarakat Islam (haruslah diposisikan) bukan sebagai sebuah prototipe yang bersifat final. Fenomena-fenomena itu akan selalu berkembang dan memperbaharui dirinya, hingga memungkinkan adanya sebuah prototipe masyarakat Islam berbentuk lain, yang tetap diinspirasikan kehidupannya oleh ide-ide islami. (Quthb, 1993b: 54)

Comments

Popular Posts

Responsive Seo Friendly Fast Loading Blogger Template

SEO Friendly Dan Fast Loading Blogger Template

Al-Qur'an dan Realita

Falsafah AlQuran

SEO Friendly Template